Namun para ulama berselisih tentang apakah ia harus dibunuh dan
bagaimana cara membunuhnya, juga tentang apakah ia kafir atau tidak.
Sufyan bin sa’id ats-Tsauri, Abu ‘Amr al-Auza’i, ‘Abdullah bin
al-Mubarak, Hammad bin Zaid, Waki’ bin al-Jarrah, Malik bin Anas,
Muhammad bin Idris asy-syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih
رحمهم الله dan yang mengikuti mereka mengatakan, bahwa orang itu harus
dibunuh.
Sementara Ibnu Syihab az-Zuhri, Sa’id bin al-Musayyab, ‘Umar bin Abdul aziz, Abu Hanifah, Dawud bin ali dan al-Muzani رحمهم الله berpendapat, ia tidak dibunuh tetapi ditahan sampai mati atau bertaubat [1]. Kemudian Ibnul Qayyim menyebutkan dalil dari masing-masing kelompok dalam sebuah pembahasan khusus yang sangat menarik.
Lalu mereka mengatakan, (orang itu) wajib dibunuh, berselisih pendapat tentang menagapa ia dibunuh, apakah pembunuhan itu sebagai hadd (hukuman) seperti dibunuhnya si pembunuh atau si pezina atau si perampok ataukah ia dibunuh karena murtad ?
Jika ia dipandang murtad, berarti meninggalkan sholat termasuk perbuatan dosa yang menjadikan orang yang mengerjakannya keluar dari Islam, dan berarti ia termasuk pengecualian dari macam-macam kaba-ir (dosa-dosa besar) sebagaimana syirik, yaitu dikecualikan dari kabirah (dosa besar) pada hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit dengan dalil-dalil yang lain dari Al Qur’an dan As-Sunnah. Mereka yang mengatakan wajib dibunuh ada dua pendapat :
Al-Imam Min Nashr al-Mawarzi رحمهم الله berkata: “Telah kami sebutkan dalam kitab kami apa yang ditunjukkan oleh Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya tentang tingginya kedudukan shalat dan keharusan tentang dijanjikannya pahala kepada orang yang menjalankannya serta ancaman berat bagi yang mengabaikannya, dan kami sebutkan juga tentang perbedaan kedudukan dan keutamaan shalat dengan amal-amal lain.“
Muhammad bin Nashr mengatakan: “Lalu kami sebutkan hadits-hadits yang datang dari Rasululllah tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat dan keluarnya mereka dari millah (agama) dan diperbolehkannya memerangi mereka yang menolak mengerjakannya. Riwayat-riwayat yang seperti itu juga telah datang dari para sahabat dan tidak kami temui perselisihan pendapat pada seorangpun dari mereka [4]. Pendapat pertama berdalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ijma’ Sahabat -radiallahu anhum-“.
1. Dalil-Dalil Al-Quran
a. Firman Allah :
Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir) ?. Atau adakah kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan?. Atau adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya?, bahwa di dalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu. Atau apakah kamu memperoleh janji yang diperkuat dengan sumpah dari Kami, yang tetap berlaku sampai hari kiamat; sesungguhnya kamu benar-benar dapat mengambil keputusan (sekehendakmu)? Tanyakanlah kepada mereka: “Siapakah di antara mereka yang bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil itu?” Atau apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu? Maka hendaklah mereka mendatangkan sekutu-sekutunya jika mereka adalah orang-orang yang benar. Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera. (QS Al-Qalam[68]:35-43)
Wajhu ad-Dalalah (letak pengambilan dalilnya) pada ayat ini: Sesungguhnya Allah telah memberitahukan, bahwa orang Islam itu tidak sama dengan orang yang berbuat dosa (kafir). Penyamaan orang Islam dengan orang yang berbuat dosa tidak sesuai dengan kebijaksanaan dan hukum-Nya. Lantas Allah menyebutkan keadaan mujrim (pelaku dosa/kafir) yang menjaid lawan orang Islam, dengan firman-Nya: “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk sujud kepada Rabb Tabaraka wa Ta’ala“, Rabb mereka tetapi mereka dihalangi sehingga tidak dapat sujud beserta orang-orang Islam sebagai hukuman buat mereka karena mereka meninggalkan shalat (sujud) bersama orang-orang yang shalat di dunia. Ini menunjukkan bahwa mereka itu beserta orang-orang kafir dan munafik yang ketika orang Islam bersujud, mereka tidak bisa bersujud karena pungung-punggung mereka tegak. Andaikan mereka itu orang Islam, tentu mereka diizinkan sujud sebagaimana halnya orang-orang Islam.
b. Firman Allah :
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun. (QS Maryam: 59-60)
Wajhu ad-Dalalah (letak pengambilan dalilnya) pada ayat ini: Bahwa Allah telah menjadikan tempat dari neraka ini bagi mereka, orang-orang yang meninggalkan shalat dan memperturutkan hawa nafsu. Sekiranya ia orang Islam yang berbuat maksiat, tentu ia berada di tingkat paling tinggi dari neraka, karena tempat ini adalah tempat untuk orang-orang kafir bukan untuk orang-orang Islam yang maksiat.
Ada dalil lain yang ditunjukkan oleh ayat: “kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun…”
Sekiranya orang yang meninggalkan shalat itu tetap mukmin, tentu dalam taubatnya tidak disyaratkan beriman (seperti apda ayat) karena yang demikian itu berarti pengulangan, atau mencari sesuatu yang sudah ada (tah-shilan lil hasil).
c. Firman Allah :
” Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu , maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan . Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang. Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidilharaam ? maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (tidak menepati perjanjian). Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu. Mereka tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang mu’min dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (QS At-Taubah:5-11)
Wajhu ad-Dalalah (letak pengambilan dalilnya) pada ayat ini: Sesungguhnya Allah menyuruh kita untuk membunuh orang-orang musyrik dan mensyaratkan pembebasan mereka untuk berjalan dengan taubat yakni Islam, mendirikan shalat dan membayar zakat. Allah juga telah menyatakan mereka adalah saudaranya orang-orang mukmin (yakni mereka beriman) apabila mengerjakan shalat dan membayar zakat. Jika tidak, maka mereka bukan orang-orang mukmin.
d. Firman Allah :
Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al Qur’an) dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dam berpaling (dari kebenaran). (QS Al-Qiyaamah:31-32)
Wajhu ad-Dalalah ayat ini: Bahwa Islam adalah membenarkan berita dari (Rasul) dan melaksanakan perintah, lawannya adalah tidak membenarkan (menolak, mendustakan) dan tidak menxjalankan shalat/perintah. Pada kedua ayat ini Allah menyebutkan tentang dua hal (membenarkan dan mengerjakan shalat) dan dua hal yang menjadi lawannya (mendustakan dan berpaling). Oleh karena mukadzdzib (pendusta) adalah kafir, maka demikian pula orang yang berpaling dari shalat, juga kafir.
e. Firman Allah :
“Sesungguhnya orang yang benar benar percaya kepada ayat ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong.” (QS As-Sajdah:15)
Wajhu ad-Dalalah ayat ini: Allah menafikan iman dari mereak yang tidak mau sujud dan bertasbih memuji Rabb mereka ketika diperingatkan dengan ayat-ayat Allah . Dan peringatan ayat-ayat Allah yang paling utama adalah peringatan dengan ayat shalat. Maka, orang yang diperingatkan agar shala, tetapi ia tidak mau, berarti ia tidak beriman kepadanya, karena Allah mengkhususkan orang-orang beriman dengan shalat, bahw amereka adalah orang-orang yang selalu bersujud. Inilah argumentasi yang paling baik. Jadi ia tidak beriman kepada ayat: “Dan dirikanlah shalat” (QS Al-Baqarah:43). kecuali orang-orang yang komitmen terhadapnya.
f. Firman Allah :
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ruku’lah, niscaya mereka tidak mau ruku’, Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.” (QS Al-Mursalat[77]:48-49)
Ayat ini sesudah ayat:
“(Dikatakan kepada orang-orang kafir): “Makanlah dan bersenang-senanglah kamu (di dunia dalam waktu) yang pendek; sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang berdosa”.“(QS Al-Mursalat[77]:46)
Lalu Allah mengancam mereka karena mereka meninggalkan ruku’, yakni tidak mau shalat saat mereka diseru untuk menjalankannya. Dan tidak dapat dikatakan, sesungguhnya Allah mengancam mereka karena mendustakan, karena Allah telah memberitahukan, bahwa mereka meninggalkan (mereka tidak mau ruku’). sehingga dengannya mereka terkena ancaman.
Ibnul Qayyim رحمهم الله berkata: “Kami katakan, bahwa orang yang membenarkan bahwa Allah menyuruh dan memerintahkan shalat, tidak akan meninggalkan shalat secara terus menerus. Orang yang membenarkan secara yakin bahwa Alla telah mewajibkan sehari semalam agar shalat lima kali dan bahwa orang yang meninggalkannya akan mendapat siksa pedih, akan mustahil baginya -menurut logika dan adat- untuk terus menerus meninggalkan shalat. Orang yang benar-benar meyakini kewajibannya, tidak mungkin melestarikan perbuatan meninggalkan shalat, karena iman menyuruh sipemiliknya untuk melaksanakan kewajiban. Bila tidak ada dihatinya sesuatu yang mendorongnya untuk mengerjakan shalat, berarti dihatinya tidak terdapat iman. Janganlah engkau pedulikan ucapan orang-orang yang tidak memiliki ilmu dan pengalaman tentang hukum-hukum dan amal-amal hati. Renungkanlah, bahwa seorang hamba yang tersimpan iman/keyakinan didalam kalbunya akan adanya pahala dan siksa, surga dan neraka serta keyakinan bahwa Allah telah mewajibkan baginya shalat dan Allah akan menyiksanya jika meninggalkannya, ia tidak mungkin meninggalkan shalat terus menerus tanpa adanya suatu penghalang.” (Lihat Ash-Shalah 37-44)
2. Dalil-Dalil dari as-Sunnah
a. Dari Jabir , aku telah mendengar Rasulullah bersabda
“Sesungguhnya yang membedakan seseorang dari Syirik dan kekufuran adalah meninggalkan shalat“. (HR Muslim, Tirmidzi, Ibn Abi Syaibah)
b. Dari Buraidah al-Hashib al-Aslami , ia berkata, aku telah mendengar Rasulullah bersabda,
“Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia kafir“. (HR Trimidzi ia berkata Hasan Gharib)
c. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash , dari Nabi , bahwa pada suatu hari beliau menyebut tentang shalat, beliau bersabda,
“Barangsiapa yang memeliharanya, maka ia akan menjadi cahaya baginya dan akan menjadi bukti dan penyelamat pada hari kiamat. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka ia tidak menjadi cahaya baginya, juga tidak menjadi pembela dan penyelamat. Pada Hari kiamat ia akan bersama Qarun, Fir’aun, Haman dan Ubay bin khalaf“. (HR Ahmad, Ibnu Hibban)
Ibnul Qayyim رحمهم الله berkata: “Empat orang itu disebut secara khusus karena mereka adalah pemimpin kekufuran. Disana ada catatan khusus yang menarik, bahwa meninggalkan shalat bisa karena sibuk dengan hartanya, atau sibuk dengan jabatannya atau sibuk dengan tugasnya atau dengan perniagaannya. Orang yang sibuk meninggalkan shalat karena hartanya ia akan bersam Qarun, Orang yang sibuk meninggalkan shalat karena jabatan/kekuasaannya, ia akan bersam Fir’aun. Sedang orang yang sibuk dengan tugasnya ia akan bersama Haman. Dan orang yang sibuk dengan perniagaannya sehingga ia tidak shalat, ia akan bersama dengan Ubay bin Khalaf.” (Lihat Ash-Shalah oleh Ibnul Qayyim 46-47)
d. Hadits yang diriwayat oleh Muadz bin Jabal dari Nabi , bahwa beliau bersabda,
“Pokok segala perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat sedang puncaknya adalah jihad fi sabilillah.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Allah memberitahukan bahw akedudukan shalat dalam Islam bagaikan tiang bagi rumah. Rumah itu runtuh jika itangnya rubuh. Begitu juga Islam, ia akan lenyap dengan lenyapnya shalat. Ibnul Qayyim berkata: “Imam Ahmad رحمهم الله telah berhujjah dengan hadits ini.”
e. Hadits Anas bin Malik berkata, Rasulullah bersabda,
“Barangsiapa yang shalat seperti shalat kita, dan menghadap qiblat kita dan memakan sembelihan kita, maka ia adalah muslim yang mendapat jaminan dan perlindungan Allah dan Rasul-Nya. Maka janganlah kamu menghianati Allah dalam jaminan-Nya.” (HR Bukhari dalam Kitab Ash-Shalah 496 fat-hul baari)
Segi argumentasi hadits ini, bahwa dengan ketiga hal tersebut, Rasulullah menyatakan seseorang adalah Muslim, dan tanpanya (shalat, menghadap qiblat, memakan sembelihan) ia bukan muslim. Juga bahwa seseorang yang shalat tidak menghadap qiblatnya dalah bukan muslim, lalu bagaimana dengan orang yang tidak shalat ?
f. Hadits yang diriwayatkan oleh Mihjan bin al-Adra’ al-Aslami, bahwa ketika ia duduk bersama Rasulullah , dikumandangkanlah adzan untuk shalat. Maka Rasulullah bangun. Ketika Rasulullah kembali, Mihjan masih duduk. “Apa yang menghalangi mu shalat ? bukankah engkau seorang muslim ?” tegur Rasul. Mihjan menjawab: “Ya, aku muslim. Akan tetapi aku sudah shalat dirumah.” Mendengar jawaban itu, maka Rasulullah berkata kepadanya: “Bila engkau datang ke Masjid, shalatlah berjama’ah sekalipun engkau sudah shalat.” (HR Ahmad dan Hakim)
Disini Rasulullah menjadikan shalat sebagai pembeda antara muslim dan kafir. Jika memang sebutan muslim boleh diberika kepada orang yang meninggalkan shalat, maka Rasulullah tidak akanberkata kepada pria yang tidak shalat “Bukankah engkau muslim ?“
Dan masih banyak dalil lainnya.
3. Ijma’ Sahabat
Ibnu Zanjawaih berkata: “Umar bin Rabi’ telah bercerita kepada kami, Yahya bin Ayyub telah bercerta kepada kami dari yunus, dari Ibnu Syihab, ia berkata: ‘Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah terlah bercerita kepadaku, bahwa:’Abdullah bin Abbas telah menceritakannya, bahwa ia mendatangi Umar bin al-Khaththab ketika ia ditikam di masjid, Ibnu Abbas berkata: ‘Aku menggotongnya bersama bersama orang-orang yang berada di masjid. Setelah kami membaringkannyadirumahnya, Umar menyuruh ‘Abdurrahman bin Auf untuk mengimami shalat. Ketika kami menjenguknya ia tengah tidak sadarkan diri. Setelah sadar, ia berkata: “Tak ada Islam bagi orang yang tidak shalat”. Dalam riwayat lain “Tak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.[5]” Kemudia ia minta air wudhu, lalu ia wudhu dan shalat.” Ibnu ‘Abbas menceritakan kisah itu.
Ibnu ‘Abbas berkata: “Perkataan ‘Umar ini diucapkan dihadapan para Sahabat, dan tidak ada seorangpun dari mereka meng-ingkarinya. Riwayat ini datang dari Muadz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, dan Abu Hurairah . Tidak seorang Sahabatpun menentangnya.” (Lihat kitab ash-Shalah oleh Ibnul Qayyim 50-51)
‘Abdullah bin Syaqiq berata: “Para sahabat Rasulullah tidak melihat satu amal yang jika ditinggalkan adalah kafir, kecuali shalat.” (HR Tirmidzi dalam kitab al-Iman, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Targhib wa at-Tarhib 564)
Imam Asy-Syafi’i رحمهم الله berkata: “Barangsiapa yang meningglakan shalat wajib sementara ia muslim, maka ia harus ditanya, ‘mengapa tidak shalat ?’ kalau ia menjawab: ‘karena saya sakit’, maka katakanlah kepadanya:’shalatlah semampumu, dengan berdiri, denganduduk, dengan berbaring, dengan isyarat’, apabila ia menjawab: ‘Saya bisa shalat, tetapi saya tidak shalat, dan saya akui shalat itu adalah wajib hukumnya’, maka katakanlah kepadanya: ‘shalat itu adalah kewajibanmu yang tidak bisa diwakilkan kepada yang lain. Ia harus dikerjakan olehmu langsung. Bertaubatlah! kalau tidak kami akan membunuhmu.’“
Imam Asy-Syafi’i رحمهم الله berkata: “Ketika kondisi shalat seperti itu, dimana orang yang meninggalkannya berada ditangan kita, tidak terhalang dari kita, namun kita tidak mampu mengambil shalat darinya karena shalat adalah perbuatan, bukan benda yang diambil seperti barang temuan, upeti dan harta benda. Maka, kami mengatakan: ‘Shalatlah kamu, jika tidak kami akan membunuhmu, sebagaimana terhadap orang kafir’, kami katakan: ‘Berimanlah atau kami akan membunuhmu’, karena iman itu tidak terwujud kecuali dengan ucapanmu. Shalat dan iman adalah dua hal yang berbeda dengan apa yang ada ditanganmu, karena kami mampu mengambil haq (Allah) darimu sekalipun kamu menolaknya.“
Imam Asy-Syafi’i رحمهم الله berkata: “Dan telah dikatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat diperintah agar bertaubat sampai tiga kali. Pendapat itu Insya Allah baik. Bila ia sadar, lalu shalat maka biarkan. Dan jika tidak mau juga, ia harus dibunuh.”
Imam Asy-Syafi’i رحمهم الله berkata sebagai sanggahan terhadap orang yang meninggalkan shalat. Bagaimana menurutmu jika ada yang bertanya kepada engkau: ‘Orang yang murtad dari Islam ketika engkau memberitahukannya’, lalu ia menjawab ‘Aku telah mengetahuinya tetapi aku tidak dapat mengatakannya ia harus saya tahan atausaya pukul kecuali jika ia mengucapkannya.’ Maka Imam Asy-Syafi’i berkata: “Ia tidak berhak melakukannya karena orang tadi telah mengganti agamanya, jadi tiada yang bisa diterima darinya kecuali ia mengatakannya lagi (Masuk ISlam lagi).”
Maka aku katakan kepadanya: “Bagaimana denganshalat ?” Shalat adalah bagiandari agamanya. Sebagaimana iman itu tidak terwujud kecualidengan mengucapkannya. Apakah yang meninggalkannya harus dibunuh ? karena ada rekanmu yang berkata, iatidak menahan dan tidak memukul/menderanya! Jika ia berkata, tentu saja, ia tidak boleh dibiarkan jika jelas-jelas ia tidak shalat. Aku (Yakni Imam Asy-Syafi’i رحمهم الله) katakan: “Apakah engkau akan membunuhnya dengan pendapatmu karena menolak peraturan buatanmu, sementara engkau tidak membunuhnya padahal ia meninggalkan sementara engkau tidak membunuhnya padahal ia meninggalkan shalat yang merupakan kewajiban yang paling pokok dari Allah setelah tauhid dan bersaksi, maka Muhammad adalah Rasulullah serta iman kepada apa yang dibawanya dari Allah .”
Dengan ini jelaslah bagi kita sikap dari madzhab Imam Asy-Syafi’i tentang orang yang meninggalkan shalat karena malas. Bahwa ia disuruh taubat, bila ia tidak mau maka ia dibunuh sebagai hadd (hukuman) baginya, bukan karena ia kafir. Adapun di akhirat ia berada didalam masyi-ah (kehendak Allah), apakan Allah akan menyiksanya atau mengampuninya.
Adapun yang mengatakan orang yang meninggalkan shalat tidak kafir adalah dengan dalil berikut:
1. Dalil dari Al-Qur’an
Firman Allah :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa menyekutukan Dia dan akan mengampuni dosa selain itu kepada siapa saja yang dikehendaki.” (QS An-Nisaa:48)
2. Dalil dari As-Sunnah
a. Hadits Ubadah bin ash-shamit dari Nabi , bahwa beliau bersabda,
“Barangsiapa yang bersaksi bahwa tiada Ilah (yang berhak diibadahi) kecuali Allah, Mahatunggal Dia dan tidak ada sekutu bagi-Nya dan bahwa Muhammad adalah hamba allah dan Rasul-Nya, bahwa Isa adalah hamba Allah dan Rasul-Nya serta kalimat yang disampaikan-Nya kepada Marya dan ruh dari-Nya dan surgadan neraka adalah haq, maka Allah akan memasukkannya ke surga sesuai dengan alam yang dikerjakannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
b. Hadits Ubadah bin ash-shamit yang merupakan dalil pokok bagi mereka, ‘Ubadah bercerita, aku telah mendengar bahwa Rasulullah bersabda:
“Lima shalat yang telah ditetapkan oleh Allah atas para hamba. Barangsiapa yang melaksanakannya, mak baginya ada perjanjian disisi Allah, bahwa Allah akan memasukkannya kedalam surga. Dan barangsiapa yang tidak menjalankannyamaka tidak ada untuknya perjanjian disisi Allah. Bila Allah menghendaki untuk menyiksanya, maka Ia tidak akan menyiksanya dan jika Allah menghendaki mengampuninya, maka Ia akan mengampuninya.” (HR Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
c. dari abu Hurairah , ia berkata, Rasulullah bersabda,
“Yang pertama kali dihisab bagi seorang hamba pad ahari kiamat adalah shalat fardhu. Bila ia menjalankannya dengan sempurna maka ia beruntung, jika tidak sempurna maka dikatakan kepadanya; ‘Periksalah amal sunnahnya! bila ia suka melakukan sunnah mak amalan yang fardhu disempurnakan dengannya.’ Kemudian cara seperti itu dilakuakan untuk menghitung seluruh ibadah fardhu yang lainnya.” (HR Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
Imam Asy-Syaukani رحمهم الله misalnya ia berkata: “Para imam salaf dan khalaf, begitu juga Asy-Ari’ah dan Mu’tazilah serta yang lainnya bersepakat bahwa hadits-hadits yang menyebutkan bahwa orang yang mengucap Laa Ilaaha Illallaah masuk surga, adalah terikat kepada syarat, yaitu apabila (ia) tidak mengerjakan kewajiban yang Allah fardhukan kepadanya dan jika tidak mengerjakan dosa besar yang sipelakunya tidak bertaubat, dan bahwa semata-mata hanya mengucap syahadat, sipengucapnya tidak dipastikan masuk surga.” (Lihat kitan Nailul al-Authar 1/376)
Imam Muhammad bin Nashr رحمهم الله berkata: Adapun argumentasi mereka yang menggunakan hadits ‘Ubadah, pada hadits tersebut ada kata-kata sebagai berikut: “Barangsiapa yang shalat lima waktu dengan sempurna, tidak dikurangi sedikitpun dari hak-haknya. Maka ia mendapat perjanjian dari Allah. Bahwa Allah tidak akan menyiksanya. Dan barang siapa yang menjalankannya tetapi tidak sempurna (mengurangi sebagian hak-haknya) maka ia tidak mendapat perjanjian dari Allah . Jika Allah menghendaki Dia menyiksanya, dan jika Allah menghendaki Dia memaafkannya”. ‘Abu Abdillah bertutur: Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mengurangi hak shalat, beritahukanlah kepadanya bahwa ia telah mengurangi haknya.” (Lihat kitab Ta’zhim qadri ash-Shalah 2/967-969)
Imam Muhammad bin Nashr رحمهم الله berkata: “Yang termasuk hak-hak shalat yang harus dipenuhi adalah suci dari hadats, sucinya pakaian shalat, sucinya tempat shalat, memelihara waktu-waktu shalat, khusyu, sempurna ruku’ dan sujudnya. Orang yang mengerjakan semua itu dengan sempurna sesuai yang diperintahkan, maka dialah yang berhak mendapat janji dari Allah, bahwa Allah akan memasukkannya kesurga. Dan barangsiapa yang tidak pernah meninggalkan shalat, tetapi ia mengurangi hak-haknya, maka dialah orang yang tidak mendapat janji Allah . Allah akan menyiksanya, jika Dia menghendaki, dan Allah akan mengampuni jika Dia menghendaki. Ini sangatlah beda jauh dengan orang yang meninggalkan shalat sama sekali.“
Ibnul Qayyim al-Jauziyah رحمهم الله berkata: “Dalil-dalil yang telah kami sebutkan menunjukkan bahwa amal seorang hamba tidak akan diterima kecuali jika ia mengerjakan shalat, karena shalat adalah kunci gudangnya dan modal dari keuntungannya. Tidak mungkin keuntungan diraih tanpa modal. Bila ia mengabaikan shalat, mak apercumalah semua amal-amalnya yang lain sekalipun shalatnya hanya rupanya (saja) (artinya seakan-akan shalat).“
Satu hal yang aneh, jika orang yang tidak shalat tidak dinyatakan kafir, sementara ia diperintah dihadapan orang banyak untuk mengerjakannya sambil diancam untuk dibunuh, namun tetap ia membangkang bahkan menantang: “Bunuhlah aku, aku tidak akan shalat selamanya.” Jika ia tidak dikafirkan, ini adalah aneh. Dan juga pendapat yang menyatakan bahwa ia tidak kafir,engatakan: “Orang tersebut adalah orang mukmin, muslim, jika mati dimadikan dan dishalatkan serta dikuburkan di pemakaman kaum muslimin.” Sebagian lagi menyatakan: “Orang yang meninggalkan shalat tersebut adalah mukmin yang sempurna imannya seperti imannya Jibril dan Mikail. Ia tidak malu menolak pendapat yang mengkafirkan orang yang telah dinyatakan kafir oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ijma Sahabat.” (Lihat ash-Shalah oleh Ibnul Qayyim 62-63)
FootNote
[1]. Lihat kitab ash-Shalah 16-22 oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Lihat juga al-Mughni 3/351, al-Majmu oleh imam Nawawi 3/13, al-Muhalla karaya Ibnu Hazm 2/242 Nail authar 1/369 dan syarh as-Sunnah 2/180.
[2]. Lihat Musyjil al-Atsar oleh ath-Thahawi 4/228 dan as-Shalah oleh imam ibnul Qayyim 33.
[3]. Ash_shalah oleh Ibnul qayyim 33, at-tarhib oleh al-Mundziri 1/393, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 3/351-359 dan al-Muhallah 2/242.
[4]. Ta’zhim Qadri ash-Shalah 2/925.
[5]. Diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa dengan mauquf pada Umar dari hadits al-Miswar bin Makhramah, bahwa ia menjenguk ‘Umar bin al-Kaththab pada malam ia ditikam. Lalu ia menawarkan kepada ‘Umar untuk shalat subuh. Maka ‘Umar menjawab: “Ya, tak ada bagian dari Islam, orang yang meninggalkan shalat.” Maka ‘Umar pun shalat dengan darah yang menetes. Lihat al-Muwaththa 1/40-41, dengan isnad yang shahih. Dan diriwayatkan secara marfu’ dari Abu Hurairah yang lafazhnya adalah: “Tidak ada jatah dalam Islam orang yang meninggalkan shalat.” Al-Haitsami menisbatkannya kepadanya dalam kitab Majma’ az-Zawa’id 1/229. Ia berkomentar: “Didalamnya terdapat ‘Abdullah bin Sa’id yang disepakati oleh ulama atas ke dha’ifannya.”
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah رحمهم الله berkata: “Kaum
muslimin tidak berselisih bahwa meninggalkan shalat fardhu dengan
sengaja adalah dosa besar yang paling besar. Dosa meninggalkan sholat
dengan sengaja disisi Allah lebih besar dari membunuh, mnecuri, berzina,
dan minum-minuman keras. meninggalkan sholat dengan sengaja akan
mendatangkan murka dan Adzab Allah serta kehinaan didunia dan di akhirat.“Sementara Ibnu Syihab az-Zuhri, Sa’id bin al-Musayyab, ‘Umar bin Abdul aziz, Abu Hanifah, Dawud bin ali dan al-Muzani رحمهم الله berpendapat, ia tidak dibunuh tetapi ditahan sampai mati atau bertaubat [1]. Kemudian Ibnul Qayyim menyebutkan dalil dari masing-masing kelompok dalam sebuah pembahasan khusus yang sangat menarik.
Lalu mereka mengatakan, (orang itu) wajib dibunuh, berselisih pendapat tentang menagapa ia dibunuh, apakah pembunuhan itu sebagai hadd (hukuman) seperti dibunuhnya si pembunuh atau si pezina atau si perampok ataukah ia dibunuh karena murtad ?
Jika ia dipandang murtad, berarti meninggalkan sholat termasuk perbuatan dosa yang menjadikan orang yang mengerjakannya keluar dari Islam, dan berarti ia termasuk pengecualian dari macam-macam kaba-ir (dosa-dosa besar) sebagaimana syirik, yaitu dikecualikan dari kabirah (dosa besar) pada hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit dengan dalil-dalil yang lain dari Al Qur’an dan As-Sunnah. Mereka yang mengatakan wajib dibunuh ada dua pendapat :
Pendapat Pertama
ORANG YANG MENINGGALKAN SHOLAT DENGAN SENGAJA ADALAH KAFIR YANG WAJIB DIBUNUH.
Mereka berkata: “Ia harus dibunuh seperti dibunuhnya orang yang murtad“. Pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad, Sa’id bin Jubair, Amir asy-Sya’bi, Ibrahim an-Nakha’i, Abu ‘Amr al-Auza’i, Ayyub as-Sakhtiyani, ‘Abdullah bin al-Mubara, Ishaq bin Rawaih, ‘Abdul Malik bin Hubaib dari Madzhab Maliki dan salah satu pendapat Imam Asy-Syafi’i, ath-Thahawi meriwayatkan dari imam Asy-Syafi’i sendiri, juga seperti diriwayatkan oleh imam ibnu Hazm [2], pendapat ini adalah pendapat ‘Umar bin Al-Khaththab, Mu’adz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin Auf, Abu Hurairah dan para sahabat lainnya [3].Al-Imam Min Nashr al-Mawarzi رحمهم الله berkata: “Telah kami sebutkan dalam kitab kami apa yang ditunjukkan oleh Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya tentang tingginya kedudukan shalat dan keharusan tentang dijanjikannya pahala kepada orang yang menjalankannya serta ancaman berat bagi yang mengabaikannya, dan kami sebutkan juga tentang perbedaan kedudukan dan keutamaan shalat dengan amal-amal lain.“
Muhammad bin Nashr mengatakan: “Lalu kami sebutkan hadits-hadits yang datang dari Rasululllah tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat dan keluarnya mereka dari millah (agama) dan diperbolehkannya memerangi mereka yang menolak mengerjakannya. Riwayat-riwayat yang seperti itu juga telah datang dari para sahabat dan tidak kami temui perselisihan pendapat pada seorangpun dari mereka [4]. Pendapat pertama berdalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ijma’ Sahabat -radiallahu anhum-“.
1. Dalil-Dalil Al-Quran
a. Firman Allah :
Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir) ?. Atau adakah kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan?. Atau adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya?, bahwa di dalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu. Atau apakah kamu memperoleh janji yang diperkuat dengan sumpah dari Kami, yang tetap berlaku sampai hari kiamat; sesungguhnya kamu benar-benar dapat mengambil keputusan (sekehendakmu)? Tanyakanlah kepada mereka: “Siapakah di antara mereka yang bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil itu?” Atau apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu? Maka hendaklah mereka mendatangkan sekutu-sekutunya jika mereka adalah orang-orang yang benar. Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera. (QS Al-Qalam[68]:35-43)
Wajhu ad-Dalalah (letak pengambilan dalilnya) pada ayat ini: Sesungguhnya Allah telah memberitahukan, bahwa orang Islam itu tidak sama dengan orang yang berbuat dosa (kafir). Penyamaan orang Islam dengan orang yang berbuat dosa tidak sesuai dengan kebijaksanaan dan hukum-Nya. Lantas Allah menyebutkan keadaan mujrim (pelaku dosa/kafir) yang menjaid lawan orang Islam, dengan firman-Nya: “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk sujud kepada Rabb Tabaraka wa Ta’ala“, Rabb mereka tetapi mereka dihalangi sehingga tidak dapat sujud beserta orang-orang Islam sebagai hukuman buat mereka karena mereka meninggalkan shalat (sujud) bersama orang-orang yang shalat di dunia. Ini menunjukkan bahwa mereka itu beserta orang-orang kafir dan munafik yang ketika orang Islam bersujud, mereka tidak bisa bersujud karena pungung-punggung mereka tegak. Andaikan mereka itu orang Islam, tentu mereka diizinkan sujud sebagaimana halnya orang-orang Islam.
b. Firman Allah :
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun. (QS Maryam: 59-60)
Wajhu ad-Dalalah (letak pengambilan dalilnya) pada ayat ini: Bahwa Allah telah menjadikan tempat dari neraka ini bagi mereka, orang-orang yang meninggalkan shalat dan memperturutkan hawa nafsu. Sekiranya ia orang Islam yang berbuat maksiat, tentu ia berada di tingkat paling tinggi dari neraka, karena tempat ini adalah tempat untuk orang-orang kafir bukan untuk orang-orang Islam yang maksiat.
Ada dalil lain yang ditunjukkan oleh ayat: “kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun…”
Sekiranya orang yang meninggalkan shalat itu tetap mukmin, tentu dalam taubatnya tidak disyaratkan beriman (seperti apda ayat) karena yang demikian itu berarti pengulangan, atau mencari sesuatu yang sudah ada (tah-shilan lil hasil).
c. Firman Allah :
” Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu , maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan . Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang. Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidilharaam ? maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (tidak menepati perjanjian). Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu. Mereka tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang mu’min dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (QS At-Taubah:5-11)
Wajhu ad-Dalalah (letak pengambilan dalilnya) pada ayat ini: Sesungguhnya Allah menyuruh kita untuk membunuh orang-orang musyrik dan mensyaratkan pembebasan mereka untuk berjalan dengan taubat yakni Islam, mendirikan shalat dan membayar zakat. Allah juga telah menyatakan mereka adalah saudaranya orang-orang mukmin (yakni mereka beriman) apabila mengerjakan shalat dan membayar zakat. Jika tidak, maka mereka bukan orang-orang mukmin.
d. Firman Allah :
Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al Qur’an) dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dam berpaling (dari kebenaran). (QS Al-Qiyaamah:31-32)
Wajhu ad-Dalalah ayat ini: Bahwa Islam adalah membenarkan berita dari (Rasul) dan melaksanakan perintah, lawannya adalah tidak membenarkan (menolak, mendustakan) dan tidak menxjalankan shalat/perintah. Pada kedua ayat ini Allah menyebutkan tentang dua hal (membenarkan dan mengerjakan shalat) dan dua hal yang menjadi lawannya (mendustakan dan berpaling). Oleh karena mukadzdzib (pendusta) adalah kafir, maka demikian pula orang yang berpaling dari shalat, juga kafir.
e. Firman Allah :
“Sesungguhnya orang yang benar benar percaya kepada ayat ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong.” (QS As-Sajdah:15)
Wajhu ad-Dalalah ayat ini: Allah menafikan iman dari mereak yang tidak mau sujud dan bertasbih memuji Rabb mereka ketika diperingatkan dengan ayat-ayat Allah . Dan peringatan ayat-ayat Allah yang paling utama adalah peringatan dengan ayat shalat. Maka, orang yang diperingatkan agar shala, tetapi ia tidak mau, berarti ia tidak beriman kepadanya, karena Allah mengkhususkan orang-orang beriman dengan shalat, bahw amereka adalah orang-orang yang selalu bersujud. Inilah argumentasi yang paling baik. Jadi ia tidak beriman kepada ayat: “Dan dirikanlah shalat” (QS Al-Baqarah:43). kecuali orang-orang yang komitmen terhadapnya.
f. Firman Allah :
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ruku’lah, niscaya mereka tidak mau ruku’, Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.” (QS Al-Mursalat[77]:48-49)
Ayat ini sesudah ayat:
“(Dikatakan kepada orang-orang kafir): “Makanlah dan bersenang-senanglah kamu (di dunia dalam waktu) yang pendek; sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang berdosa”.“(QS Al-Mursalat[77]:46)
Lalu Allah mengancam mereka karena mereka meninggalkan ruku’, yakni tidak mau shalat saat mereka diseru untuk menjalankannya. Dan tidak dapat dikatakan, sesungguhnya Allah mengancam mereka karena mendustakan, karena Allah telah memberitahukan, bahwa mereka meninggalkan (mereka tidak mau ruku’). sehingga dengannya mereka terkena ancaman.
Ibnul Qayyim رحمهم الله berkata: “Kami katakan, bahwa orang yang membenarkan bahwa Allah menyuruh dan memerintahkan shalat, tidak akan meninggalkan shalat secara terus menerus. Orang yang membenarkan secara yakin bahwa Alla telah mewajibkan sehari semalam agar shalat lima kali dan bahwa orang yang meninggalkannya akan mendapat siksa pedih, akan mustahil baginya -menurut logika dan adat- untuk terus menerus meninggalkan shalat. Orang yang benar-benar meyakini kewajibannya, tidak mungkin melestarikan perbuatan meninggalkan shalat, karena iman menyuruh sipemiliknya untuk melaksanakan kewajiban. Bila tidak ada dihatinya sesuatu yang mendorongnya untuk mengerjakan shalat, berarti dihatinya tidak terdapat iman. Janganlah engkau pedulikan ucapan orang-orang yang tidak memiliki ilmu dan pengalaman tentang hukum-hukum dan amal-amal hati. Renungkanlah, bahwa seorang hamba yang tersimpan iman/keyakinan didalam kalbunya akan adanya pahala dan siksa, surga dan neraka serta keyakinan bahwa Allah telah mewajibkan baginya shalat dan Allah akan menyiksanya jika meninggalkannya, ia tidak mungkin meninggalkan shalat terus menerus tanpa adanya suatu penghalang.” (Lihat Ash-Shalah 37-44)
2. Dalil-Dalil dari as-Sunnah
a. Dari Jabir , aku telah mendengar Rasulullah bersabda
“Sesungguhnya yang membedakan seseorang dari Syirik dan kekufuran adalah meninggalkan shalat“. (HR Muslim, Tirmidzi, Ibn Abi Syaibah)
b. Dari Buraidah al-Hashib al-Aslami , ia berkata, aku telah mendengar Rasulullah bersabda,
“Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia kafir“. (HR Trimidzi ia berkata Hasan Gharib)
c. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash , dari Nabi , bahwa pada suatu hari beliau menyebut tentang shalat, beliau bersabda,
“Barangsiapa yang memeliharanya, maka ia akan menjadi cahaya baginya dan akan menjadi bukti dan penyelamat pada hari kiamat. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka ia tidak menjadi cahaya baginya, juga tidak menjadi pembela dan penyelamat. Pada Hari kiamat ia akan bersama Qarun, Fir’aun, Haman dan Ubay bin khalaf“. (HR Ahmad, Ibnu Hibban)
Ibnul Qayyim رحمهم الله berkata: “Empat orang itu disebut secara khusus karena mereka adalah pemimpin kekufuran. Disana ada catatan khusus yang menarik, bahwa meninggalkan shalat bisa karena sibuk dengan hartanya, atau sibuk dengan jabatannya atau sibuk dengan tugasnya atau dengan perniagaannya. Orang yang sibuk meninggalkan shalat karena hartanya ia akan bersam Qarun, Orang yang sibuk meninggalkan shalat karena jabatan/kekuasaannya, ia akan bersam Fir’aun. Sedang orang yang sibuk dengan tugasnya ia akan bersama Haman. Dan orang yang sibuk dengan perniagaannya sehingga ia tidak shalat, ia akan bersama dengan Ubay bin Khalaf.” (Lihat Ash-Shalah oleh Ibnul Qayyim 46-47)
d. Hadits yang diriwayat oleh Muadz bin Jabal dari Nabi , bahwa beliau bersabda,
“Pokok segala perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat sedang puncaknya adalah jihad fi sabilillah.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Allah memberitahukan bahw akedudukan shalat dalam Islam bagaikan tiang bagi rumah. Rumah itu runtuh jika itangnya rubuh. Begitu juga Islam, ia akan lenyap dengan lenyapnya shalat. Ibnul Qayyim berkata: “Imam Ahmad رحمهم الله telah berhujjah dengan hadits ini.”
e. Hadits Anas bin Malik berkata, Rasulullah bersabda,
“Barangsiapa yang shalat seperti shalat kita, dan menghadap qiblat kita dan memakan sembelihan kita, maka ia adalah muslim yang mendapat jaminan dan perlindungan Allah dan Rasul-Nya. Maka janganlah kamu menghianati Allah dalam jaminan-Nya.” (HR Bukhari dalam Kitab Ash-Shalah 496 fat-hul baari)
Segi argumentasi hadits ini, bahwa dengan ketiga hal tersebut, Rasulullah menyatakan seseorang adalah Muslim, dan tanpanya (shalat, menghadap qiblat, memakan sembelihan) ia bukan muslim. Juga bahwa seseorang yang shalat tidak menghadap qiblatnya dalah bukan muslim, lalu bagaimana dengan orang yang tidak shalat ?
f. Hadits yang diriwayatkan oleh Mihjan bin al-Adra’ al-Aslami, bahwa ketika ia duduk bersama Rasulullah , dikumandangkanlah adzan untuk shalat. Maka Rasulullah bangun. Ketika Rasulullah kembali, Mihjan masih duduk. “Apa yang menghalangi mu shalat ? bukankah engkau seorang muslim ?” tegur Rasul. Mihjan menjawab: “Ya, aku muslim. Akan tetapi aku sudah shalat dirumah.” Mendengar jawaban itu, maka Rasulullah berkata kepadanya: “Bila engkau datang ke Masjid, shalatlah berjama’ah sekalipun engkau sudah shalat.” (HR Ahmad dan Hakim)
Disini Rasulullah menjadikan shalat sebagai pembeda antara muslim dan kafir. Jika memang sebutan muslim boleh diberika kepada orang yang meninggalkan shalat, maka Rasulullah tidak akanberkata kepada pria yang tidak shalat “Bukankah engkau muslim ?“
Dan masih banyak dalil lainnya.
3. Ijma’ Sahabat
Ibnu Zanjawaih berkata: “Umar bin Rabi’ telah bercerita kepada kami, Yahya bin Ayyub telah bercerta kepada kami dari yunus, dari Ibnu Syihab, ia berkata: ‘Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah terlah bercerita kepadaku, bahwa:’Abdullah bin Abbas telah menceritakannya, bahwa ia mendatangi Umar bin al-Khaththab ketika ia ditikam di masjid, Ibnu Abbas berkata: ‘Aku menggotongnya bersama bersama orang-orang yang berada di masjid. Setelah kami membaringkannyadirumahnya, Umar menyuruh ‘Abdurrahman bin Auf untuk mengimami shalat. Ketika kami menjenguknya ia tengah tidak sadarkan diri. Setelah sadar, ia berkata: “Tak ada Islam bagi orang yang tidak shalat”. Dalam riwayat lain “Tak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.[5]” Kemudia ia minta air wudhu, lalu ia wudhu dan shalat.” Ibnu ‘Abbas menceritakan kisah itu.
Ibnu ‘Abbas berkata: “Perkataan ‘Umar ini diucapkan dihadapan para Sahabat, dan tidak ada seorangpun dari mereka meng-ingkarinya. Riwayat ini datang dari Muadz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, dan Abu Hurairah . Tidak seorang Sahabatpun menentangnya.” (Lihat kitab ash-Shalah oleh Ibnul Qayyim 50-51)
‘Abdullah bin Syaqiq berata: “Para sahabat Rasulullah tidak melihat satu amal yang jika ditinggalkan adalah kafir, kecuali shalat.” (HR Tirmidzi dalam kitab al-Iman, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Targhib wa at-Tarhib 564)
Pendapat Kedua
ORANG YANG MENINGGALKAN SHOLAT KARENA MALAS WAJIB DIBUNUH SEBAGAI HADD (HUKUMAN) BUKAN KARENA KAFIR.
Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Imam Malik dan Ibnu baththah. Ibnu Qudamah dalam al-Mughni mentarjih pendapat ini. Ia berkata: “Ini adalah pendapat fuqaha. Ini adalah riwayat yang masyhur dari Imam Asy-Syafi’i رحمهم الله yang dijadikan pegangan dalam madzhabnya.“Imam Asy-Syafi’i رحمهم الله berkata: “Barangsiapa yang meningglakan shalat wajib sementara ia muslim, maka ia harus ditanya, ‘mengapa tidak shalat ?’ kalau ia menjawab: ‘karena saya sakit’, maka katakanlah kepadanya:’shalatlah semampumu, dengan berdiri, denganduduk, dengan berbaring, dengan isyarat’, apabila ia menjawab: ‘Saya bisa shalat, tetapi saya tidak shalat, dan saya akui shalat itu adalah wajib hukumnya’, maka katakanlah kepadanya: ‘shalat itu adalah kewajibanmu yang tidak bisa diwakilkan kepada yang lain. Ia harus dikerjakan olehmu langsung. Bertaubatlah! kalau tidak kami akan membunuhmu.’“
Imam Asy-Syafi’i رحمهم الله berkata: “Ketika kondisi shalat seperti itu, dimana orang yang meninggalkannya berada ditangan kita, tidak terhalang dari kita, namun kita tidak mampu mengambil shalat darinya karena shalat adalah perbuatan, bukan benda yang diambil seperti barang temuan, upeti dan harta benda. Maka, kami mengatakan: ‘Shalatlah kamu, jika tidak kami akan membunuhmu, sebagaimana terhadap orang kafir’, kami katakan: ‘Berimanlah atau kami akan membunuhmu’, karena iman itu tidak terwujud kecuali dengan ucapanmu. Shalat dan iman adalah dua hal yang berbeda dengan apa yang ada ditanganmu, karena kami mampu mengambil haq (Allah) darimu sekalipun kamu menolaknya.“
Imam Asy-Syafi’i رحمهم الله berkata: “Dan telah dikatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat diperintah agar bertaubat sampai tiga kali. Pendapat itu Insya Allah baik. Bila ia sadar, lalu shalat maka biarkan. Dan jika tidak mau juga, ia harus dibunuh.”
Imam Asy-Syafi’i رحمهم الله berkata sebagai sanggahan terhadap orang yang meninggalkan shalat. Bagaimana menurutmu jika ada yang bertanya kepada engkau: ‘Orang yang murtad dari Islam ketika engkau memberitahukannya’, lalu ia menjawab ‘Aku telah mengetahuinya tetapi aku tidak dapat mengatakannya ia harus saya tahan atausaya pukul kecuali jika ia mengucapkannya.’ Maka Imam Asy-Syafi’i berkata: “Ia tidak berhak melakukannya karena orang tadi telah mengganti agamanya, jadi tiada yang bisa diterima darinya kecuali ia mengatakannya lagi (Masuk ISlam lagi).”
Maka aku katakan kepadanya: “Bagaimana denganshalat ?” Shalat adalah bagiandari agamanya. Sebagaimana iman itu tidak terwujud kecualidengan mengucapkannya. Apakah yang meninggalkannya harus dibunuh ? karena ada rekanmu yang berkata, iatidak menahan dan tidak memukul/menderanya! Jika ia berkata, tentu saja, ia tidak boleh dibiarkan jika jelas-jelas ia tidak shalat. Aku (Yakni Imam Asy-Syafi’i رحمهم الله) katakan: “Apakah engkau akan membunuhnya dengan pendapatmu karena menolak peraturan buatanmu, sementara engkau tidak membunuhnya padahal ia meninggalkan sementara engkau tidak membunuhnya padahal ia meninggalkan shalat yang merupakan kewajiban yang paling pokok dari Allah setelah tauhid dan bersaksi, maka Muhammad adalah Rasulullah serta iman kepada apa yang dibawanya dari Allah .”
Dengan ini jelaslah bagi kita sikap dari madzhab Imam Asy-Syafi’i tentang orang yang meninggalkan shalat karena malas. Bahwa ia disuruh taubat, bila ia tidak mau maka ia dibunuh sebagai hadd (hukuman) baginya, bukan karena ia kafir. Adapun di akhirat ia berada didalam masyi-ah (kehendak Allah), apakan Allah akan menyiksanya atau mengampuninya.
Adapun yang mengatakan orang yang meninggalkan shalat tidak kafir adalah dengan dalil berikut:
1. Dalil dari Al-Qur’an
Firman Allah :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa menyekutukan Dia dan akan mengampuni dosa selain itu kepada siapa saja yang dikehendaki.” (QS An-Nisaa:48)
2. Dalil dari As-Sunnah
a. Hadits Ubadah bin ash-shamit dari Nabi , bahwa beliau bersabda,
“Barangsiapa yang bersaksi bahwa tiada Ilah (yang berhak diibadahi) kecuali Allah, Mahatunggal Dia dan tidak ada sekutu bagi-Nya dan bahwa Muhammad adalah hamba allah dan Rasul-Nya, bahwa Isa adalah hamba Allah dan Rasul-Nya serta kalimat yang disampaikan-Nya kepada Marya dan ruh dari-Nya dan surgadan neraka adalah haq, maka Allah akan memasukkannya ke surga sesuai dengan alam yang dikerjakannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
b. Hadits Ubadah bin ash-shamit yang merupakan dalil pokok bagi mereka, ‘Ubadah bercerita, aku telah mendengar bahwa Rasulullah bersabda:
“Lima shalat yang telah ditetapkan oleh Allah atas para hamba. Barangsiapa yang melaksanakannya, mak baginya ada perjanjian disisi Allah, bahwa Allah akan memasukkannya kedalam surga. Dan barangsiapa yang tidak menjalankannyamaka tidak ada untuknya perjanjian disisi Allah. Bila Allah menghendaki untuk menyiksanya, maka Ia tidak akan menyiksanya dan jika Allah menghendaki mengampuninya, maka Ia akan mengampuninya.” (HR Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
c. dari abu Hurairah , ia berkata, Rasulullah bersabda,
“Yang pertama kali dihisab bagi seorang hamba pad ahari kiamat adalah shalat fardhu. Bila ia menjalankannya dengan sempurna maka ia beruntung, jika tidak sempurna maka dikatakan kepadanya; ‘Periksalah amal sunnahnya! bila ia suka melakukan sunnah mak amalan yang fardhu disempurnakan dengannya.’ Kemudian cara seperti itu dilakuakan untuk menghitung seluruh ibadah fardhu yang lainnya.” (HR Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
Pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini
Pendapat yang rajih adalh pendapat yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir yang harus dibunuh karena telah murtad. Mereka yang berpendapat dengan pendapat pertama (yang mengatakan orang yang meninggalkan secara sengaja adalah murtad) telah membantah pendapat yang kedua.Imam Asy-Syaukani رحمهم الله misalnya ia berkata: “Para imam salaf dan khalaf, begitu juga Asy-Ari’ah dan Mu’tazilah serta yang lainnya bersepakat bahwa hadits-hadits yang menyebutkan bahwa orang yang mengucap Laa Ilaaha Illallaah masuk surga, adalah terikat kepada syarat, yaitu apabila (ia) tidak mengerjakan kewajiban yang Allah fardhukan kepadanya dan jika tidak mengerjakan dosa besar yang sipelakunya tidak bertaubat, dan bahwa semata-mata hanya mengucap syahadat, sipengucapnya tidak dipastikan masuk surga.” (Lihat kitan Nailul al-Authar 1/376)
Imam Muhammad bin Nashr رحمهم الله berkata: Adapun argumentasi mereka yang menggunakan hadits ‘Ubadah, pada hadits tersebut ada kata-kata sebagai berikut: “Barangsiapa yang shalat lima waktu dengan sempurna, tidak dikurangi sedikitpun dari hak-haknya. Maka ia mendapat perjanjian dari Allah. Bahwa Allah tidak akan menyiksanya. Dan barang siapa yang menjalankannya tetapi tidak sempurna (mengurangi sebagian hak-haknya) maka ia tidak mendapat perjanjian dari Allah . Jika Allah menghendaki Dia menyiksanya, dan jika Allah menghendaki Dia memaafkannya”. ‘Abu Abdillah bertutur: Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mengurangi hak shalat, beritahukanlah kepadanya bahwa ia telah mengurangi haknya.” (Lihat kitab Ta’zhim qadri ash-Shalah 2/967-969)
Imam Muhammad bin Nashr رحمهم الله berkata: “Yang termasuk hak-hak shalat yang harus dipenuhi adalah suci dari hadats, sucinya pakaian shalat, sucinya tempat shalat, memelihara waktu-waktu shalat, khusyu, sempurna ruku’ dan sujudnya. Orang yang mengerjakan semua itu dengan sempurna sesuai yang diperintahkan, maka dialah yang berhak mendapat janji dari Allah, bahwa Allah akan memasukkannya kesurga. Dan barangsiapa yang tidak pernah meninggalkan shalat, tetapi ia mengurangi hak-haknya, maka dialah orang yang tidak mendapat janji Allah . Allah akan menyiksanya, jika Dia menghendaki, dan Allah akan mengampuni jika Dia menghendaki. Ini sangatlah beda jauh dengan orang yang meninggalkan shalat sama sekali.“
Ibnul Qayyim al-Jauziyah رحمهم الله berkata: “Dalil-dalil yang telah kami sebutkan menunjukkan bahwa amal seorang hamba tidak akan diterima kecuali jika ia mengerjakan shalat, karena shalat adalah kunci gudangnya dan modal dari keuntungannya. Tidak mungkin keuntungan diraih tanpa modal. Bila ia mengabaikan shalat, mak apercumalah semua amal-amalnya yang lain sekalipun shalatnya hanya rupanya (saja) (artinya seakan-akan shalat).“
Satu hal yang aneh, jika orang yang tidak shalat tidak dinyatakan kafir, sementara ia diperintah dihadapan orang banyak untuk mengerjakannya sambil diancam untuk dibunuh, namun tetap ia membangkang bahkan menantang: “Bunuhlah aku, aku tidak akan shalat selamanya.” Jika ia tidak dikafirkan, ini adalah aneh. Dan juga pendapat yang menyatakan bahwa ia tidak kafir,engatakan: “Orang tersebut adalah orang mukmin, muslim, jika mati dimadikan dan dishalatkan serta dikuburkan di pemakaman kaum muslimin.” Sebagian lagi menyatakan: “Orang yang meninggalkan shalat tersebut adalah mukmin yang sempurna imannya seperti imannya Jibril dan Mikail. Ia tidak malu menolak pendapat yang mengkafirkan orang yang telah dinyatakan kafir oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ijma Sahabat.” (Lihat ash-Shalah oleh Ibnul Qayyim 62-63)
FootNote
[1]. Lihat kitab ash-Shalah 16-22 oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Lihat juga al-Mughni 3/351, al-Majmu oleh imam Nawawi 3/13, al-Muhalla karaya Ibnu Hazm 2/242 Nail authar 1/369 dan syarh as-Sunnah 2/180.
[2]. Lihat Musyjil al-Atsar oleh ath-Thahawi 4/228 dan as-Shalah oleh imam ibnul Qayyim 33.
[3]. Ash_shalah oleh Ibnul qayyim 33, at-tarhib oleh al-Mundziri 1/393, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 3/351-359 dan al-Muhallah 2/242.
[4]. Ta’zhim Qadri ash-Shalah 2/925.
[5]. Diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa dengan mauquf pada Umar dari hadits al-Miswar bin Makhramah, bahwa ia menjenguk ‘Umar bin al-Kaththab pada malam ia ditikam. Lalu ia menawarkan kepada ‘Umar untuk shalat subuh. Maka ‘Umar menjawab: “Ya, tak ada bagian dari Islam, orang yang meninggalkan shalat.” Maka ‘Umar pun shalat dengan darah yang menetes. Lihat al-Muwaththa 1/40-41, dengan isnad yang shahih. Dan diriwayatkan secara marfu’ dari Abu Hurairah yang lafazhnya adalah: “Tidak ada jatah dalam Islam orang yang meninggalkan shalat.” Al-Haitsami menisbatkannya kepadanya dalam kitab Majma’ az-Zawa’id 1/229. Ia berkomentar: “Didalamnya terdapat ‘Abdullah bin Sa’id yang disepakati oleh ulama atas ke dha’ifannya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar