Permasalahan
onani/masturbasi (istimna’) adalah permasalahan yang telah dibahas oleh
para ulama. Onani adalah upaya mengeluarkan mani dengan menggunakan
tangan atau yang lainnya. Hukum permasalahan ini ada rinciannya sebagai
berikut:
1. Onani yang dilakukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh
lainnya dari istri atau budak wanita yang dimiliki. Jenis ini hukumnya
halal, karena termasuk dalam keumuman bersenang-senang dengan istri atau
budak wanita yang dihalalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.1 Demikian
pula hukumnya bagi wanita dengan tangan suami atau tuannya (jika ia
berstatus sebagai budak, red.). Karena tidak ada perbedaan hukum antara
laki-laki dan perempuan hingga tegak dalil yang membedakannya. Wallahu
a’lam.
2. Onani yang dilakukan dengan tangan sendiri atau
semacamnya. Jenis ini hukumnya haram bagi pria maupun wanita, serta
merupakan perbuatan hina yang bertentangan dengan kemuliaan dan
keutamaan. Pendapat ini adalah madzhab jumhur (mayoritas ulama), Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullahu, dan pendapat terkuat dalam madzhab Al-Imam
Ahmad rahimahullahu. Pendapat ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah
Ad-Da’imah (yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz), Al-Albani,
Al-’Utsaimin, serta Muqbil Al-Wadi’i rahimahumullah. Dalilnya adalah
keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالَّذِينَ هُمْ
لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ
ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
“Dan orang-orang yang
menjaga kemaluan-kemaluan mereka (dari hal-hal yang haram), kecuali
terhadap istri-istri mereka atau budak-budak wanita yang mereka miliki,
maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Barangsiapa mencari kenikmatan
selain itu, maka merekalah orang-orang yang melampaui batas.”
(Al-Mu’minun: 5-7, juga dalam surat Al-Ma’arij: 29-31)
Perbuatan
onani termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan syahwat yang sifatnya
melanggar batasan syariat yang dihalalkan, yaitu di luar kenikmatan
suami-istri atau tuan dan budak wanitanya.
Sebagian ulama termasuk
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berdalilkan dengan hadits
‘Abdillah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ،
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ
لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ
بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda,
barangsiapa di antara kalian yang telah mampu menikah, maka menikahlah,
karena pernikahan membuat pandangan dan kemaluan lebih terjaga.
Barangsiapa belum mampu menikah, hendaklah dia berpuasa, karena
sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.”
(Muttafaq ‘alaih)
Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Sisi
pendalilan dari hadits ini adalah perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bagi yang tidak mampu menikah untuk berpuasa. Sebab, seandainya
onani merupakan adat (perilaku) yang diperbolehkan tentulah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membimbing yang tidak mampu menikah
untuk melakukan onani, karena onani lebih ringan dan mudah untuk
dilakukan ketimbang puasa.”
Apalagi onani sendiri akan menimbulkan
mudharat yang merusak kesehatan pelakunya serta melemahkan kemampuan
berhubungan suami-istri jika sudah berkeluarga, wallahul musta’an.2
Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini adalah
hadits-hadits yang dha’if (lemah). Kelemahan hadits-hadits itu telah
diterangkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam At-Talkhish
Al-Habir (no. 1666) dan Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (no. 2401) serta
As-Silsilah Adh-Dha’ifah (no. 319). Di antaranya hadits ‘Abdullah bin
‘Amr radhiyallahu ‘anhuma:
سَبْعَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَيَقُوْلُ:
ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِيْنَ: … وَالنَّاكِحُ يَدَهُ ….
الْحَدِيْثَ
“Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang
kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari
dosa-dosa) dan berkata kepada mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka
bersama orang-orang yang masuk ke dalamnya!’ (di antaranya): … dan orang
yang menikahi tangannya (melakukan onani/masturbasi) ….dst.” (HR. Ibnu
Bisyran dalam Al-Amali, dalam sanadnya ada Abdullah bin Lahi’ah dan
Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al-Ifriqi, keduanya dha’if [lemah]
hafalannya)
Namun apakah diperbolehkan pada kondisi darurat, yaitu
pada suatu kondisi di mana ia khawatir terhadap dirinya untuk terjerumus
dalam perzinaan atau khawatir jatuh sakit jika air maninya tidak
dikeluarkan? Ada khilaf pendapat dalam memandang masalah ini.
Jumhur
ulama mengharamkan onani secara mutlak dan tidak memberi toleransi
untuk melakukannya dengan alasan apapun. Karena seseorang wajib bersabar
dari sesuatu yang haram. Apalagi ada solusi yang diajarkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meredakan/meredam syahwat
seseorang yang belum mampu menikah, yaitu berpuasa sebagaimana hadits
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di atas.
Sedangkan sekelompok
sahabat, tabi’in, dan ulama termasuk Al-Imam Ahmad rahimahullahu memberi
toleransi untuk melakukannya pada kondisi tersebut yang dianggap
sebagai kondisi darurat.3 Namun nampaknya pendapat ini harus diberi
persyaratan seperti kata Al-Albani rahimahullahu dalam Tamamul Minnah
(hal. 420-421): “Kami tidak mengatakan bolehnya onani bagi orang yang
khawatir terjerumus dalam perzinaan, kecuali jika dia telah menempuh
pengobatan Nabawi (yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam), yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum
pemuda dalam hadits yang sudah dikenal yang memerintahkan mereka untuk
menikah dan beliau bersabda:
فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Maka barangsiapa belum mampu menikah hendaklah dia berpuasa, karena
sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.”
Oleh karena itu, kami mengingkari dengan keras orang-orang yang
memfatwakan kepada pemuda yang khawatir terjerumus dalam perzinaan untuk
melakukan onani, tanpa memerintahkan kepada mereka untuk berpuasa.”
Dengan demikian, jelaslah kekeliruan pendapat Ibnu Hazm rahimahullahu
dalam Al-Muhalla (no. 2303) dan sebagian fuqaha Hanabilah yang sekadar
memakruhkan onani dengan alasan tidak ada dalil yang mengharamkannya,
padahal bertentangan dengan kemuliaan akhlak dan keutamaan.
Yang
lebih memprihatinkan adalah yang sampai pada tahap menekuninya sebagai
adat/kebiasaan, untuk bernikmat-nikmat atau berfantasi/mengkhayalkan
nikmatnya menggauli wanita. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu
berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa (10/574): “Adapun melakukan onani untuk
bernikmat-nikmat dengannya, menekuninya sebagai adat, atau untuk
mengingat-ngingat (nikmatnya menggauli seorang wanita) dengan cara
mengkhayalkan seorang wanita yang sedang digaulinya saat melakukan
onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram. Al-Imam Ahmad
rahimahullahu mengharamkannya, demikian pula yang selain beliau.”
Wallahu a’lam.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing para
pemuda dan pemudi umat ini untuk menjaga diri mereka dari hal-hal yang
haram dan hina serta merusak akhlak dan kemuliaan mereka. Amin.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wasallam, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Apakah pelaku onani/masturbasi mendapat dosa seperti orang yang berzina?
Adi Wicaksono, lewat email
Penetapan kadar dan sifat dosa yang didapatkan oleh seorang pelaku
maksiat, apakah sifatnya dosa besar atau dosa kecil harus berdasarkan
dalil syar’i. Perbuatan zina merupakan dosa besar yang pelakunya terkena
hukum hadd. Nash-nash tentang hal itu sangat jelas dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Adapun masturbasi/onani dengan tangan sendiri atau
semacamnya (bukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh dari istri atau
budak wanita yang dimiliki), terdapat silang pendapat di kalangan ulama.
Yang benar adalah pendapat yang menyatakan haram. Hal ini berdasarkan
keumuman ayat 5-7 dari surat Al-Mu’minun dan ayat 29-31 dari surat
Al-Ma’arij. Onani termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan syahwat
yang haram, karena melampaui batas syariat yang dihalalkan, yaitu
kenikmatan syahwat antara suami istri atau tuan dengan budak wanitanya.
Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini yang menunjukkan
bahwa onani adalah dosa besar merupakan hadits-hadits yang dha’if
(lemah) dan tidak bisa dijadikan hujjah. Di antaranya:
سَبْعَةٌ لاَ
يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ
يُزَكِّيْهِمْ وَيَقُوْلُ: ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِيْنَ: …
وَالنَّاكِحُ يَدَهُ …. الْحَدِيْثَ
“Ada tujuh golongan yang Allah
tidak akan memandang kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan
membersihkan mereka (dari dosa-dosa) dan berkata kepada mereka:
‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk ke
dalamnya!’: … dan orang yang menikahi tangannya (melakukan
onani/masturbasi) ….dst.”4
Sifat onani yang paling parah dan
tidak ada seorang pun yang menghalalkannya adalah seperti kata Syaikhul
Islam dalam Majmu’ Al-Fatawa (10/574): “Adapun melakukan onani untuk
bernikmat-nikmat dengannya, menekuninya sebagai adat, atau untuk
mengingat-ngingat/mengkhayalkan
(nikmatnya menggauli seorang wanita) dengan cara mengkhayalkan seorang
wanita yang sedang digaulinya saat melakukan onani, maka yang seperti
ini seluruhnya haram. Al-Imam Ahmad rahimahullahu mengharamkannya,
demikian pula selain beliau. Bahkan sebagian ulama mengharuskan hukum
hadd bagi pelakunya.”
Penetapan hukum hadd dalam hal ini semata-mata
ijtihad sebagian ulama mengqiyaskannya dengan zina. Namun tentu saja
berbeda antara onani dengan zina sehingga tidak bisa disamakan. Karena
zina adalah memasukkan kepala dzakar ke dalam farji wanita yang tidak
halal baginya (selain istri dan budak wanita yang dimiliki). Oleh karena
itu, yang benar dalam hal ini adalah pelakunya hanya sebatas diberi
ta’zir (hukuman) yang setimpal sebagai pelajaran dan peringatan baginya
agar berhenti dari perbuatan maksiat tersebut. Pendapat ini adalah
madzhab Hanabilah, dibenarkan oleh Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu
dalam Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir dan difatwakan
oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh Al-Imam Ibnu Baz
rahimahullahu dalam Fatawa Al-Lajnah (10/259).
Adapun bentuk
hukumannya kembali kepada ijtihad hakim, apakah dicambuk (tidak lebih
dari sepuluh kali), didenda, dihajr (diboikot), didamprat dengan celaan,
atau lainnya, yang dipandang oleh pihak hakim dapat membuatnya jera
dari maksiat itu dan bertaubat.5 Wallahu a’lam.
Kesimpulannya,
masturbasi tidak bisa disetarakan dengan zina, karena tidak ada dalil
yang menunjukkan hal itu. Namun onani adalah maksiat yang wajib untuk
dijauhi. Barangsiapa telah melakukannya hendaklah menjaga aibnya sebagai
rahasia pribadinya dan hendaklah bertaubat serta memohon ampunan Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Apabila urusannya terangkat ke mahkamah pengadilan,
maka pihak hakim berwenang untuk memberi ta’zir (hukuman) yang
setimpal, sebagai pelajaran dan peringatan baginya agar jera dari
perbuatan hina tersebut. Wallahu a’lam.
1 Pertama kali kami
mendengar faedah ini dari guru besar kami, Al-Walid Al-Imam Muqbil bin
Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu dalam majelis beliau. Silakan lihat pula
Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (10/259), Al-Iqna’ pada Kitab An-Nikah Bab
‘Isyratin Nisa’. Hal ini merupakan ijma’ (kesepakatan) ulama sebagaimana
dinukilkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu dalam kitabnya yang
berjudul Bulughul Muna fi Hukmil Istimna’, walhamdulillah –pen.
2
Lihat tafsir surat Al-Mu’minun dalam Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ibnu
Katsir, Tafsir Al-Baghawi, Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229), Fatawa
Al-Lajnah (10/259), Tamamul Minnah (hal. 420), Majmu’ Ar-Rasa’il
(19/234, 235-236), Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir –pen.
3 Lihat Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229-230) –pen.
4 Lihat penjelasan hadits ini dalam Problema Anda: Hukum Onani/Masturbasi.
5 Lihat Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir –pen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar