Jumat, 21 Oktober 2011

Gaji Tinggi Loyalitas Semu

Gaji dan bonus yang tinggi hanya akan menciptakan loyalitas semu dan bukan loyalitas sejati. Kerja keras dan performance yang ditunjukkan tidak langgeng. Sebatas selama yang bersangkutan merasa mendapatkan imbalan “yang memadai” dan akan selalu mengintip dari jendela perusahaan untuk siap-siap hengkang kalau ada bank lain yang memberikan penawaran gaji yang lebih menarik. Awaldi
Gaji bankir Indonesia di level eksekutif relatif tinggi, baik dibandingkan dengan gaji eksekutif di industri yang lain maupun gaji bankir di negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Untuk level top executive dapat dikatakan tidak kalah jauh dibandingkan dengan gaji bankir di Hong Kong dan Singapura. Data Infobank tahun lalu mensinyalir, gaji salah satu chief executive officer (CEO) bank bahkan di luar imajinasi kita sebagai orang awam.
Rekan saya yang seorang head hunter sampai geleng-geleng kepala sembari berujar, “It is a crazy market!” Maksudnya, gaji bankir konsisten naik, kebutuhan akan bankir berkualitas tak ada henti-hentinya, dan bank-bank yang menjadi kliennya tetap saja mampu dan bergairah untuk “membeli talenta”, walaupun dengan harga relatif mahal.
Executive search lain yang baru main di pasar Indonesia juga ikut terkaget-kaget. Dia punya klien institusi finansial bukan bank dan berencana “membeli” eksekutif dengan latar belakang banking. Dia suprised karena “bujet untuk belanja” yang disediakan oleh klien tidak sampai separuh dari harga market untuk mendapatkan eksekutif bank di Indonesia.
Bank memang berharap, dengan memberikan imbalan yang tinggi dan sangat kompetitif kepada pegawai  (terutama para eksekutifnya), nantinya akan menciptakan produktivitas, profit, dan bisnis yang terus bertumbuh. Sejauh ini, berdasarkan angka-angka finansial yang sudah dipublikasikan, sepertinya harapan itu bukanlah pepesan kosong. Profit bank-bank di Tanah Air terus membubung (naik 30%-50% setahun) dan pertumbuhan asetnya konsisten rata-rata di atas 20%.
Namun, apakah gaji bankir yang tinggi dan pertumbuhan bank yang spektakuler ini merupakan kenyataan atau hanya ilusi? Kewaspadaan perlu ditingkatkan. Jangan sampai bank terperangkap dengan pengeluaran yang makin tinggi untuk gaji eksekutif, tetapi dalam jangka panjang akan membebani industri bank itu sendiri (karena biayanya tidak terkontrol), bahkan dapat merusak sendi-sendi perekonomian negara.
Dua indikator yang perlu diwaspadai sejauh ini adalah, pertama, kenyataan bahwa rasio biaya tenaga kerja di bank dibandingkan dengan biaya bank secara keseluruhan telah mendekati 70%. Kedua, tingkat turn over pegawai yang tidak turun-turun, bahkan cendrung naik (rata-rata 12%-15%). Ini adalah lingkaran perangkap yang tidak bertepi: pegawai bank berpindah-pindah, bank merasa punya duit untuk membeli talenta di market, dan “harganya” terus meroket. Terus berputar bagai spiral yang memilin ke atas.
Krisis ekonomi 2008 yang dipicu oleh jatuhnya Wall Street di Amerika Serikat telah memberikan pelajaran kepada kita. Gaji dan bonus eksekutif investment banker yang terlalu tinggi dituding menjadi pemicu rusaknya ekonomi negara. Bonus untuk investment banker ditengarai lebih besar daripada revenue yang di-generate oleh produk yang dijual.
Krisis ekonomi yang terus menghantui Benua Amerika hingga detik ini juga telah memicu polemik. Salah satunya tentang pendapatan para top executive yang dianggap sudah terlalu tinggi. Gaji dan bonus satu orang eksekutif saja (dalam hal ini CEO) ditengarai lebih tinggi dibandingkan dengan pajak perusahaan yang disetor ke negara. Ini menjadi perdebatan dan sebagian kalangan menganggapnya sebagai salah satu virus yang merusak sendi-sendi perekonomian negara Obama tersebut.
Jangan sampai industri bank kita terperangkap jerat yang sama. Kenyataannya gaji yang tinggi tak menurunkan tingkat turn over, yang dari tahun ke tahun malah makin naik. Hal ini setidaknya mengisyaratkan bahwa gaji yang tinggi belum tentu berkorelasi kuat dengan komitmen bekerja dan loyalitas kepada perusahaan.
Gaji dan bonus yang tinggi hanya akan menciptakan loyalitas semu (pragmactic engagement) dan bukan loyalitas sejati (attitudinal engagement). Kerja keras dan performance yang ditunjukkan tidak langgeng. Sebatas selama yang bersangkutan merasa mendapatkan imbalan “yang memadai” dan akan selalu mengintip dari jendela perusahaan untuk siap-siap hengkang kalau ada bank lain yang memberikan penawaran gaji yang lebih menarik.
Loyalitas bankir terhadap perusahaannya bukanlah faktor dari gaji dan bonus yang besar. Seperti yang selalu dikumandangkan mbaurekso bankir Indonesia, Robby Djohan, loyalitas sejati diukir dari kepercayaan untuk diberikan tantangan pekerjaan, perlakuan sehari-hari yang saling respect, kesempatan menduduki posisi yang lebih strategis, kesempatan untuk tumbuh, dan memberikan sesuatu yang berarti bagi perusahaan.
Mantra-mantra usang itu jangan ditinggalkan. Jangan sampai perangkap sederhana memenjara indutri perbankan kita. Tidak mau capai-capai menumbuhkan loyalitas sejati, tetapi mencari cara gampang dengan membanjiri eksekutif dengan gaji dan bonus. Suatu ilusi berbiaya tinggi yang belum tentu menghasilkan komitmen dan kerja keras. Bahkan, dalam jangka panjang mungkin saja bisa merusak sendi-sendi industri perbankan dan perekonomian negara. (*)

Tidak ada komentar: